13 November 2013

Peranan Parlemen dalam Pengembangan Zakat




Salah satu instrumen fundamental dalam demokrasi adalah Pemilihan Umum. Pemilihan Umum di Indonesia diselenggarakan 5 (lima) tahun sekali, kecuali Pemilihan Umum I tahun 1955 memiliki jarak waktu cukup lama dengan Pemilihan Umum II tahun 1971. Melalui Pemilihan Umum terbentuk keanggotaan Parlemen (MPR, DPR dan DPD).

Setiap Agustus selain diperingati Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI, juga Hari Ulang Tahun Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Tahun 2013 ini Dewan Perwakilan Rakyat memperingati HUT ke-68. Dalam sejarah politik Indonesia yang mengiringi perkembangan jalannya Negara Republik Indonesia ini, sebagian tercermin dalam sejarah DPR. Demikian ditulis dalam pendahuluan buku Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakjat Republik Indonesia 1945-1970 disusun oleh Sekretariat DPR-GR.
Sejarah mencatat pada tanggal 29 Agustus 1945 Presiden Republik Indonesia melantik Komite Nasional Indonesia Pusat yang disingkat KNIP. Pada hari itu lahirlah lembaga perwakilan rakyat yang kemudian menjadi Dewan Perwakilan Rakyat dalam Negara Republik Indonesia. Ketua KNIP pertama ialah Mr. Kasman Singodimedjo. Kasman adalah seorang pejuang nasional, Ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang menjadi cikal bakal TNI, aktifivis Muhammadiyah dan di kemudian hari dikenal sebagai tokoh terkemuka Masyumi.
Sebagai lembaga negara DPR-RI yang semula KNIP menjadi saksi perubahan sistem pemerintahan negara, saksi jatuh bangunnya rezim pemerintahan dan pasang surut kehidupan demokrasi di negara kita. Di antara fungsi badan legislatif yang paling penting ialah di bidang: (a)  legislasi; (b) anggaran; dan (c) pengawasan.
Salah satu produk legislasi yang dihasilkan Parlemen dalam hal ini DPR-RI menyangkut kepentingan umat Islam ialah Undang-Undang Pengelolaan Zakat. Produk legislasi undang-undang pengelolaan zakat di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Cita-cita pembentukan undang-undang pengelolaan zakat tidak mudah diwujudkan walaupun penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam dan perjuangan umat Islam paling besar dalam revolusi merebut kemerdekaan.
Kementerian Agama sejak masa Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri tahun 1964 menginisiasi penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pelaksanaan Zakat, dan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan Pembagian Zakat serta Pembentukan Baitul Maal. Tetapi prosesnya berhenti di tengah jalan karena situasi politik nasional yang tidak memungkinkan saat itu dalam era poros politik Nasakom.
Pada masa Orde Baru, Rancangan Undang-Undang tentang Zakat diajukan oleh Menteri Agama K.H.M. Dachlan kepada Pimpinan DPR-GR tahun  1967. Upaya itu menemui kegagalan karena tidak ada kesepakatan dengan menteri terkait, khususnya Menteri Keuangan Frans Seda, yang berpendapat masalah zakat tidak perlu diatur dengan undang-undang.
Undang-Undang Pengelolaan Zakat lahir di masa Presiden B.J. Habibie. Karena itu undang-undang ini merupakan produk legislasi DPR-RI yang bersejarah bagi umat Islam. Rancangan Undang-Undang diajukan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Agama Prof. Drs. H.A. Malik Fadjar. DPR-RI waktu itu dipimpin oleh H. Harmoko sebagai Ketua MPR/DPR-RI periode terakhir sebelum pimpinan MPR-RI dan DPR-RI dipisah.
Setelah berjalan selama 12 tahun, pada 27 Oktober 2011, Rapat Paripurna DPR-RI mensahkan RUU Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah  menjadi Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat sebagai pengganti Undang Nomor 38 Tahun 1999.  Konsep RUU ini berasal dari usul inisiatif DPR-RI.
Dalam rangka penguatan institusi zakat DPR-RI semula menginginkan pemisahan antara fungsi regulator dan fungsi kontrol dalam pengelolaan zakat yang ditangani oleh lembaga independen bernama Dewan Zakat Indonesia (DZI). Konsep awal RUU mereposisi keberadaan BAZNAS dan BAZDA, dan sebaliknya memperkuat posisi LAZ. Namun dalam pembahasan RUU di parlemen lebih banyak mengakomodir Daftar Isian Masalah (DIM) versi Pemerintah, sehingga menghasilkan arsitektur zakat nasional sebagaimana kini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011.
Undang-undang ini belum menjawab seluruh persoalan zakat di tanah air yang perlu diatur oleh negara, tetapi telah cukup representatif untuk mendorong transparansi, integrasi, dan akuntabilitas pengelolaan zakat yang belum diatur secara rinci dalam undang-undang sebelumnya.
Semenjak 1966 parlemen Indonesia dalam hal ini Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengukuhkan rumusan Seminar AD 1966 bahwa persyaratan pejabat-pejabat negara pertama-tama ialah “bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Pembuktian “bertakwa” memerlukan indikator yang harus tecermin dalam perilaku dan ketaatan melaksanakan ajaran agama. Pembuktian bertakwa bagi seorang Muslim antara lain seluruh harta kekayaannya diperoleh secara halal dan secara rutin mengeluarkan kewajiban zakat.
Tahun depan bangsa Indonesia melaksanakan “pesta demokrasi”  Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Seyogianya dibuat persyaratan yang mengharuskan setiap calon Presiden dan Wakil Presiden memiliki bukti pembayaran zakat melalui lembaga zakat resmi. Bukti penunaian kewajiban zakat merupakan salah satu indikator seseorang adalah manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Seorang calon pejabat negara yang akan dipilih sebagai ulil amri yang wajib ditaati oleh seluruh rakyat diharapkan telah menunaikan pembayaran nilai zakat dari harta kekayaannya. Persyaratan ini sangat wajar diterapkan mulai dari calon anggota legislatif yang beragama Islam, para calon menteri, dan pejabat pemerintah lainnya, apalagi calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai simbol negara. Penulis berharap wacana ini ditangkap oleh parlemen dalam rangka penguatan institusi zakat.
Peran parlemen dalam penguatan institusi zakat perlu semakin ditingkatkan di masa mendatang. Di luar bidang legislasi, DPR-RI mempunyai otoritas untuk memutuskan alokasi anggaran penguatan kelembagaan BAZNAS dan BAZNAS daerah sebagai simbol institusi zakat negara. Selain itu Unit Pengumpul Zakat (UPZ) di lingkungan Parlemen RI (MPR, DPR dan DPD) diharapkan menjadi UPZ terbaik dan percontohan. Adapun kritik Ketua DPR-RI Marzuki Alie beberapa waktu lalu melalui media, yang menilai peran badan-badan zakat di Indonesia belum efektif dalam menyalurkan dana zakat bagi warga miskin yang membutuhkan, merupakan masukan berharga untuk memperbaiki pelayanan lembaga zakat (BAZNAS maupun LAZ) sehingga ke depan akan lebih baik lagi.
Wallahu a’lam bisshawab.            




Oleh M. Fuad Nasar
Wakil Sekretaris BAZNAS 

0 komentar: