Salah satu instrumen fundamental dalam demokrasi
adalah Pemilihan Umum. Pemilihan Umum di Indonesia diselenggarakan 5 (lima)
tahun sekali, kecuali Pemilihan Umum I tahun 1955 memiliki jarak waktu cukup
lama dengan Pemilihan Umum II tahun 1971. Melalui Pemilihan Umum terbentuk
keanggotaan Parlemen (MPR, DPR dan DPD).
Setiap Agustus selain diperingati Hari Ulang
Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI, juga Hari Ulang Tahun Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia. Tahun 2013 ini Dewan Perwakilan Rakyat memperingati HUT
ke-68. Dalam sejarah politik Indonesia yang mengiringi perkembangan jalannya
Negara Republik Indonesia ini, sebagian tercermin dalam sejarah DPR. Demikian
ditulis dalam pendahuluan buku Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakjat Republik
Indonesia 1945-1970 disusun oleh Sekretariat DPR-GR.
Sejarah mencatat pada tanggal 29 Agustus 1945
Presiden Republik Indonesia melantik Komite Nasional Indonesia Pusat yang
disingkat KNIP. Pada hari itu lahirlah lembaga perwakilan rakyat yang kemudian
menjadi Dewan Perwakilan Rakyat dalam Negara Republik Indonesia. Ketua KNIP
pertama ialah Mr. Kasman Singodimedjo. Kasman adalah seorang pejuang nasional,
Ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang menjadi cikal bakal TNI, aktifivis
Muhammadiyah dan di kemudian hari dikenal sebagai tokoh terkemuka Masyumi.
Sebagai lembaga negara DPR-RI yang semula KNIP
menjadi saksi perubahan sistem pemerintahan negara, saksi jatuh bangunnya rezim
pemerintahan dan pasang surut kehidupan demokrasi di negara kita. Di antara
fungsi badan legislatif yang paling penting ialah di bidang: (a)
legislasi; (b) anggaran; dan (c) pengawasan.
Salah satu produk legislasi yang dihasilkan
Parlemen dalam hal ini DPR-RI menyangkut kepentingan umat Islam ialah
Undang-Undang Pengelolaan Zakat. Produk legislasi undang-undang pengelolaan zakat
di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Cita-cita pembentukan undang-undang
pengelolaan zakat tidak mudah diwujudkan walaupun penduduk Indonesia mayoritas
beragama Islam dan perjuangan umat Islam paling besar dalam revolusi merebut
kemerdekaan.
Kementerian Agama sejak masa Menteri Agama K.H.
Saifuddin Zuhri tahun 1964 menginisiasi penyusunan Rancangan Undang-Undang
tentang Pelaksanaan Zakat, dan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan Pembagian Zakat serta
Pembentukan Baitul Maal. Tetapi prosesnya berhenti di tengah jalan karena
situasi politik nasional yang tidak memungkinkan saat itu dalam era poros
politik Nasakom.
Pada masa Orde Baru, Rancangan Undang-Undang
tentang Zakat diajukan oleh Menteri Agama K.H.M. Dachlan kepada Pimpinan
DPR-GR tahun 1967. Upaya itu menemui kegagalan karena tidak ada
kesepakatan dengan menteri terkait, khususnya Menteri Keuangan Frans Seda, yang
berpendapat masalah zakat tidak perlu diatur dengan undang-undang.
Undang-Undang Pengelolaan Zakat lahir di
masa Presiden B.J. Habibie. Karena itu undang-undang ini merupakan produk
legislasi DPR-RI yang bersejarah bagi umat Islam. Rancangan Undang-Undang
diajukan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Agama Prof. Drs. H.A. Malik
Fadjar. DPR-RI waktu itu dipimpin oleh H. Harmoko sebagai Ketua MPR/DPR-RI
periode terakhir sebelum pimpinan MPR-RI dan DPR-RI dipisah.
Setelah berjalan selama 12 tahun, pada 27 Oktober
2011, Rapat Paripurna DPR-RI mensahkan RUU Pengelolaan Zakat, Infaq dan
Shadaqah menjadi Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat sebagai
pengganti Undang Nomor 38 Tahun 1999. Konsep RUU ini berasal dari usul
inisiatif DPR-RI.
Dalam rangka penguatan institusi zakat DPR-RI
semula menginginkan pemisahan antara fungsi regulator dan fungsi kontrol dalam
pengelolaan zakat yang ditangani oleh lembaga independen bernama Dewan Zakat
Indonesia (DZI). Konsep awal RUU mereposisi keberadaan BAZNAS dan BAZDA, dan
sebaliknya memperkuat posisi LAZ. Namun dalam pembahasan RUU di parlemen lebih
banyak mengakomodir Daftar Isian Masalah (DIM) versi Pemerintah, sehingga
menghasilkan arsitektur zakat nasional sebagaimana kini tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011.
Undang-undang ini belum menjawab seluruh
persoalan zakat di tanah air yang perlu diatur oleh negara, tetapi telah cukup
representatif untuk mendorong transparansi, integrasi, dan akuntabilitas
pengelolaan zakat yang belum diatur secara rinci dalam undang-undang
sebelumnya.
Semenjak 1966 parlemen Indonesia dalam hal ini
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengukuhkan rumusan Seminar AD
1966 bahwa persyaratan pejabat-pejabat negara pertama-tama ialah “bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Pembuktian “bertakwa” memerlukan indikator
yang harus tecermin dalam perilaku dan ketaatan melaksanakan ajaran agama.
Pembuktian bertakwa bagi seorang Muslim antara lain seluruh harta kekayaannya
diperoleh secara halal dan secara rutin mengeluarkan kewajiban zakat.
Tahun depan bangsa Indonesia melaksanakan “pesta
demokrasi” Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Seyogianya dibuat persyaratan yang mengharuskan setiap calon Presiden dan Wakil
Presiden memiliki bukti pembayaran zakat melalui lembaga zakat resmi. Bukti
penunaian kewajiban zakat merupakan salah satu indikator seseorang adalah
manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Seorang calon pejabat negara yang akan dipilih
sebagai ulil amri yang wajib ditaati oleh seluruh rakyat diharapkan
telah menunaikan pembayaran nilai zakat dari harta kekayaannya.
Persyaratan ini sangat wajar diterapkan mulai dari calon anggota legislatif
yang beragama Islam, para calon menteri, dan pejabat pemerintah lainnya,
apalagi calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai simbol negara. Penulis
berharap wacana ini ditangkap oleh parlemen dalam rangka penguatan institusi
zakat.
Peran parlemen dalam penguatan institusi zakat
perlu semakin ditingkatkan di masa mendatang. Di luar bidang legislasi, DPR-RI
mempunyai otoritas untuk memutuskan alokasi anggaran penguatan kelembagaan
BAZNAS dan BAZNAS daerah sebagai simbol institusi zakat negara. Selain
itu Unit Pengumpul Zakat (UPZ) di lingkungan Parlemen RI (MPR, DPR dan DPD)
diharapkan menjadi UPZ terbaik dan percontohan. Adapun kritik Ketua DPR-RI Marzuki
Alie beberapa waktu lalu melalui media, yang menilai peran badan-badan zakat di
Indonesia belum efektif dalam menyalurkan dana zakat bagi warga miskin yang
membutuhkan, merupakan masukan berharga untuk memperbaiki pelayanan lembaga zakat
(BAZNAS maupun LAZ) sehingga ke depan akan lebih baik lagi.
Wallahu a’lam
bisshawab.
Oleh M. Fuad Nasar
Wakil Sekretaris BAZNAS
0 komentar:
Plaas 'n opmerking