13 November 2013

SKALA PRIORITAS DALAM PENYALURAN ZAKAT




Salah satu tugas utama dari Badan Amil Zakat Nasional atau Lembaga Amil Zakat dalam mendistribusikan zakat, adalah menyusun skala prioritas dalam penyaluran zakat berdasar datadata yang akurat. Dalam kaitan ini tampaknya perlu spesialisasi dari masing-masing lembaga. Misalnya, lembaga zakat A mengkhususkan program-programnya untuk usaha-usaha produktif. Lembaga Zakat B pada pemberian beasiswa dan pelatihan-pelatihan. Lembaga Zakat C pada pembangunan sarana dan prasarana, dan lain sebagainya, di samping penyaluran yang bersifat konsumtif untuk mustahik yang membutuhkan. Selain itu sinergi dan kerjasama yang saling memperkuat antarlembaga zakat semakin dibutuhkan saat ini, karena terbatasnya dana zakat, infak, dan sedekah yang terkumpul, sementara jumlah penerima zakat (mustahik) semakin banyak. Zakat yang dikumpulkan oleh lembaga pengelola zakat pada prinsipnya harus segera disalurkan kepada para mustahik sesuai dengan skala prioritas yang telah disusun dalam program kerja. Zakat tersebut harus disalurkan kepada para mustahik sebagaimana tercantum dalam surat at-Taubah:60, yang uraiannya antara lain sebagai berikut:
Pertama: Fakir dan miskin. Meskipun kedua kelompok ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan, akan tetapi dalam teknis operasional sering dipersamakan, yaitu mereka tidak memiliki penghasilan sama sekali, atau memiliki penghasilan akan tetapi tidak mencukupi kebutuhan pokok dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Zakat yang disalurkan pada kelompok ini dapat bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi keperluan konsumsi sehari-harinya dan dapat pula bersifat produktif, yaitu untuk modal kerja atau modal usaha. Penyaluran zakat yang bersifat konsumtif dinyatakan antara lain dalam surah al-Baqarah ayat 273, sedangkan penyaluran zakat secara produktif pernah terjadi di zaman Rasulullah Saw yang dikemukakan dalam sebuah hadist riwayat Imam Muslim dari Salim Abdillah bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw telah memberikan kepadanya zakat lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi.
Kedua: Kelompok Amil (petugas zakat). Kelompok ini berhak mendapatkan bagian dari zakat, maksimal satu per delapan atau 12, 5 persen, dengan catatan bahwa petugas zakat ini memang melakukan tugas-tugas keamilan dengan sebaik-baiknya dan waktunya sebagian besar atau seluruhnya untuk tugas tersebut. Jika hanya di akhir bulan Ramadhan saja (dan biasanya hanya untuk pengumpulan zakat fitrah saja), seyogianya para petugas ini tidak mendapatkan bagian zakat satu per delapan, melainkan hanyalah sekedarnya saja untuk keperluan administrasi ataupun konsumsi yang mereka butuhkan, misalnya lima persen saja. Bagian untuk amil mencakup untuk biaya transportasi maupun biaya-biaya lain yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugasnya.
Ketiga: Kelompok Muallaf, yaitu kelompok orang yang masih dianggap lemah imannya, karena masuk Islam. Mereka diberi zakat agar bertambah kesungguhannya dalam ber-islam dan bertambah keyakinan mereka, bahwa segala pengorbanan mereka dengan sebab masuk Islam tidaklah sia-sia. Bahwa Islam dan umatnya sangat memperhatikan mereka. Dewasa ini, warga eks Ahmadiyah yang bertobat dan kembali ke dalam Islam dapat digolongkan sebagai Muallaf karena mereka memerlukan penguatan keimanan, pendidikan dan ekonomi melalui penyaluran dana zakat atau membebaskan mereka dari jerat hutang pada komunitasnya. Bagian muallaf dapat diberikan juga kepada lembaga-lembaga dakwah yang mengkhususkan garapannya untuk menyebarkan Islam di daerahdaerah terpencil dan di suku-suku terasing yang belum mengenal Islam dan sebagainya.
Keempat: Memerdekakan Budak. Bahwa zakat itu antara lain dapat dialokasikan untuk membebaskan budak dan menghilangkan segala bentuk perbudakan.
Kelima: Kelompok Gharimin, atau orang-orang orang yang berhutang dan tidak mampu melunasinya. Para ulama membagi kelompok ini pada dua bagian, yaitu kelompok orang yang mempunyai hutang kebaikan dan kemaslahatan diri dan keluarganya. Misalnya untuk membiayai dirinya dan keluarganya yang sakit, atau untuk membiayai pendidikan. Yusuf al-Qaradhawi mengemukakan bahwa salah satu kelompok yang termasuk gharimin adalah kelompok orang yang mendapatkan berbagai bencana dan musibah, baik pada dirinya maupun pada hartanya, sehingga dihadapkan pada kebutuhan yang mendesak untuk menjamin bagi dirinya dan keluarganya.
Keenam: Dalam Jalan Allah SWT (fisabilillah). Pada zaman Rasulullah Saw golongan yang termasuk kategori ini adalah para sukarelawan perang yang tidak mempunyai gaji tetap. Tapi berdasarkan lafaz dari sabilillah ‘di jalan Allah SWT’, sebagian ulama membolehkan zakat disalurkan untuk membangun masjid, lembaga pendidikan, perpustakaan, pelatihan para da’i, menerbitkan buku, majalah, brosur, membangun mass media, dan lain sebagainya.
Ketujuh: Ibnu Sabil, yaitu orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan. Untuk saat sekarang, disamping para musafir yang mengadakan perjalanan yang dianjurkan agama, mungkin juga dapat dipergunakan untuk pemberian beasiswa atau beasantri (pondok pesantren) bagi para penuntut ilmu yang terputus pendidikannya karena ketiadaan dana. Juga dapat dipergunakan untuk membiayai pendidikan anak-anak jalanan yang kini semakin banyak jumlahnya, atau merehabilitasi anak-anak miskin yang terkena narkoba atau perbuatan-perbuatan buruk lainnya.

Wallahu a’lam bisshawab.

Oleh: Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, M.Sc

0 komentar: