Salah
satu tugas utama dari Badan Amil Zakat Nasional atau Lembaga Amil Zakat dalam
mendistribusikan zakat, adalah menyusun skala prioritas dalam penyaluran
zakat berdasar datadata yang akurat. Dalam kaitan ini tampaknya perlu
spesialisasi dari masing-masing lembaga. Misalnya, lembaga zakat A
mengkhususkan program-programnya untuk usaha-usaha produktif. Lembaga Zakat B
pada pemberian beasiswa dan pelatihan-pelatihan. Lembaga Zakat C pada
pembangunan sarana dan prasarana, dan lain sebagainya, di samping penyaluran
yang bersifat konsumtif untuk mustahik yang membutuhkan. Selain itu sinergi dan
kerjasama yang saling memperkuat antarlembaga zakat semakin dibutuhkan
saat ini, karena terbatasnya dana zakat, infak, dan sedekah yang
terkumpul, sementara jumlah penerima zakat (mustahik) semakin banyak.
Zakat yang dikumpulkan oleh lembaga pengelola zakat pada prinsipnya harus
segera disalurkan kepada para mustahik sesuai dengan skala prioritas yang telah
disusun dalam program kerja. Zakat tersebut harus disalurkan kepada para
mustahik sebagaimana tercantum dalam surat at-Taubah:60, yang uraiannya antara
lain sebagai berikut:
Pertama:
Fakir dan miskin. Meskipun kedua kelompok ini memiliki perbedaan yang cukup
signifikan, akan tetapi dalam teknis operasional sering dipersamakan, yaitu
mereka tidak memiliki penghasilan sama sekali, atau memiliki penghasilan akan
tetapi tidak mencukupi kebutuhan pokok dirinya dan keluarga yang menjadi
tanggungannya. Zakat yang disalurkan pada kelompok ini dapat bersifat
konsumtif, yaitu untuk memenuhi keperluan konsumsi sehari-harinya dan dapat
pula bersifat produktif, yaitu untuk modal kerja atau modal usaha. Penyaluran zakat
yang bersifat konsumtif dinyatakan antara lain dalam surah al-Baqarah ayat 273,
sedangkan penyaluran zakat secara produktif pernah terjadi di zaman Rasulullah
Saw yang dikemukakan dalam sebuah hadist riwayat Imam Muslim dari Salim
Abdillah bin Umar dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw telah memberikan kepadanya
zakat lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi.
Kedua:
Kelompok Amil (petugas zakat). Kelompok ini berhak mendapatkan bagian
dari zakat, maksimal satu per delapan atau 12, 5 persen, dengan catatan bahwa
petugas zakat ini memang melakukan tugas-tugas keamilan dengan sebaik-baiknya
dan waktunya sebagian besar atau seluruhnya untuk tugas tersebut. Jika hanya di
akhir bulan Ramadhan saja (dan biasanya hanya untuk pengumpulan zakat
fitrah saja), seyogianya para petugas ini tidak mendapatkan bagian zakat satu
per delapan, melainkan hanyalah sekedarnya saja untuk keperluan administrasi
ataupun konsumsi yang mereka butuhkan, misalnya lima persen saja. Bagian untuk
amil mencakup untuk biaya transportasi maupun biaya-biaya lain yang dibutuhkan
untuk melaksanakan tugasnya.
Ketiga:
Kelompok Muallaf, yaitu kelompok orang yang masih dianggap lemah imannya,
karena masuk Islam. Mereka diberi zakat agar bertambah kesungguhannya
dalam ber-islam dan bertambah keyakinan mereka, bahwa segala pengorbanan mereka
dengan sebab masuk Islam tidaklah sia-sia. Bahwa Islam dan umatnya sangat
memperhatikan mereka. Dewasa ini, warga eks Ahmadiyah yang bertobat dan kembali
ke dalam Islam dapat digolongkan sebagai Muallaf karena mereka memerlukan
penguatan keimanan, pendidikan dan ekonomi melalui penyaluran dana zakat
atau membebaskan mereka dari jerat hutang pada komunitasnya. Bagian muallaf
dapat diberikan juga kepada lembaga-lembaga dakwah yang mengkhususkan
garapannya untuk menyebarkan Islam di daerahdaerah terpencil dan di suku-suku
terasing yang belum mengenal Islam dan sebagainya.
Keempat:
Memerdekakan Budak. Bahwa zakat itu antara lain dapat dialokasikan untuk
membebaskan budak dan menghilangkan segala bentuk perbudakan.
Kelima:
Kelompok Gharimin, atau orang-orang orang yang berhutang dan tidak mampu
melunasinya. Para ulama membagi kelompok ini pada dua bagian, yaitu kelompok
orang yang mempunyai hutang kebaikan dan kemaslahatan diri dan keluarganya.
Misalnya untuk membiayai dirinya dan keluarganya yang sakit, atau untuk
membiayai pendidikan. Yusuf al-Qaradhawi mengemukakan bahwa salah satu kelompok
yang termasuk gharimin adalah kelompok orang yang mendapatkan berbagai bencana
dan musibah, baik pada dirinya maupun pada hartanya, sehingga dihadapkan pada
kebutuhan yang mendesak untuk menjamin bagi dirinya dan keluarganya.
Keenam:
Dalam Jalan Allah SWT (fisabilillah). Pada zaman Rasulullah Saw golongan yang
termasuk kategori ini adalah para sukarelawan perang yang tidak mempunyai gaji
tetap. Tapi berdasarkan lafaz dari sabilillah ‘di jalan Allah SWT’, sebagian
ulama membolehkan zakat disalurkan untuk membangun masjid, lembaga
pendidikan, perpustakaan, pelatihan para da’i, menerbitkan buku, majalah,
brosur, membangun mass media, dan lain sebagainya.
Ketujuh:
Ibnu Sabil, yaitu orang yang terputus bekalnya dalam perjalanan. Untuk saat
sekarang, disamping para musafir yang mengadakan perjalanan yang dianjurkan
agama, mungkin juga dapat dipergunakan untuk pemberian beasiswa atau beasantri
(pondok pesantren) bagi para penuntut ilmu yang terputus pendidikannya karena
ketiadaan dana. Juga dapat dipergunakan untuk membiayai pendidikan anak-anak
jalanan yang kini semakin banyak jumlahnya, atau merehabilitasi anak-anak
miskin yang terkena narkoba atau perbuatan-perbuatan buruk lainnya.
Wallahu
a’lam bisshawab.
Oleh:
Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, M.Sc
0 komentar:
Plaas 'n opmerking