Kamal Ibrahim
Mahasiswa STEI SEBI –
Beasiswa Kepakaran SEBI – Dompet Dhuafa
“ Ambilah zakat dari harta
mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka, Allah Maha
Mendengar dan Maha Melihat ”
( QS : AT-Taubah : 103 )
Dari ayat Al-Qur’an diatas, maka diharuskan adanya orang yang
mengambil harta zakat untuk membersihkan harta para muzakki. Maka dalam hal ini
Allah telah menetapkan amil untuk megambil harta yang menjadi hak mustahik dari
harta para muzakki. Berbicara tentang amil maka kita harus melihat bagaimana
Rasulullah menetapkan seorang amil untuk melakukan penghimpunan zakat dari umat
Islam. sejarah mencatat Rasulullah telah mengutus Umar Ibnul-Lutbiah sebagai
petugas pemungut zakat[1]. Dalam hal pengelolaan
zakat, amil bertugas untuk menghitung wajib zakat, zakat apa saja yang
diwajibkan kepada wajib zakat serta mengetahui para mustahik zakat.
Maka sudah sepatutnya pemerintah yang harus turun tangan dalam
proses pengumpulan zakat. Dalam konteks ke Indonesiaan saat ini, kita bukanlah
negara Islam yang salah satunya mengatur tentang zakat, maka siapakah yang
harus mengelola zakat di Indonesia. Namun pemerintah mengakomodir kepentingan
masyarakat muslim yang merupakan mayoritas dari penduduk di Indonesia, hal ini
terbukti dengan lahirnya UU 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat di
Indoneisa. Undang-undang ini dilahrikan atas desakan masyarakat Islam agar
pengelolaan zakat di Indonesia berjalan dengan baik dan dirasakan manfaatnya
secara menyeluruh bagi masyarakat Indonesia.
Keunikan di Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara lain adalah
adanya dua jenis OPZ yang melakukan pengelolaan zakat di Indonesia. BAZNAS
sebagai lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola zakat di
Indonesia hal ini tertuang dalam UU No. 23 Tahun 2011 pasal 5 ayat 1 “ Untuk
melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS dan pasal 6 “
BAZNAS merupakan lembaga
yang berwenang melakukan tugas
pengelolaan zakat secara nasional. Di sisi lain pemerintah memberikan peluang
kepada masyarakat untuk mendirikan OPZ
atau lebih sering dikenal dengan Lembaga Amil Zakat hal ini juga
tertuang dalam UU 23 Tahun 2011 pasal 17 “ Untuk membantu BAZNAS dalam
pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat
dapat membentuk LAZ ”. Kedua OPZ tersebut diberikan mandat oleh pemerintah dalam
hal mengelola dana zakat di Indonesia.
Pertanyaannya mengapa harus
ada BAZNAS dan LAZ dalam melakukan pengelolaan zakat di Indonesia, karena
menurut sejarah rasulullah atau pemerintah yang harus melaukan pengumpulan
zakat. Pertanyaan ini sering muncul di permukaan tentang siapa yang seharusnya
mengelolaa zakat di Indonesia. Penulis mencoba memberikan penjelasan tentang
hal tersebut dan hikmah dari adanya BAZNAS dan LAZ di Indonesia. Melihat dari
sejarah pengumpulan zakat di Indonesia sendiri diawalai dari pergerakan
masyarakat dalam pengelolaan zakat. Pengelolaan zakat yang dilakukan oleh lembaga
amil zakat telah ada di zaman penjajahan Hindia Belanda, yaitu dengan
pengambilan zakat yang dilakukan oleh petugas keagamaan formal yang diangkat
pemerintah seperti penghulu dan naib.
Namun pada tahun 1905 Hindia Belanda dengan tegas melarang penghimpunan zakat (
Kemenag, 2013 ). Pengelolaan zakat pada masa Jepang dilakukan oleh Istitusi
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang salah satu tuganya adalah pembentukan
Baitul Mal sebagai sarana pengorganisasian pengelolaan zakat ( Benda, 1958 ).
Dan sampai akhirnya MIAI dibubarkan oleh Jepang pada 24 Oktober 1943, sejak
saat itu agenda optimalisasi pengelolaan zakat kembali terabaikan ( Budiman,
2005 ).
Berikutnya ditahun 1960an munculah BAZIS di tiap daerah karena
belum adanya kejelasan peraturan dari pemerintah pusat. Dan masyarakat juga
mulai medirikan OPZ seperti BAMUIS BNI dan Yayasan Dana Sosial Al-Falah. Dan
pada tahun 1990an muncullah organisasi pengelola zakat yang mengusung
pendekatan professional dalam melakukan pengelolaan dana zakat[2]. Dan baru tahu 1999
pemerintah menegluarkan UU No. 38 Tahun 199 yang saat ini telah diganti dengan
UU No. 23 Tahun 2011. Dengan sejarah yang begitu panjang telah terlihat
bahwasannya perkembangan zakat di Indonesia berupa bottom up bukan top down.
Maka peran masyarakat sangat sulit dihilangkan dalam hal
pengelolaan zakat di Indonsesia, namun pada[3] ayat khudz min amwalihim adalah kalimat perintah, amar. Berarti mukhatab-nya,
ada orang yang diperintahkan untuk mengambil zakat. Pada saat itu yang
ditugaskan adalah pemimpin yaitu Rasulullah, namun karena kesibukan dari
Rasulullah maka beliau mengutus orang untuk mengambil zakat. Maka bisa kita
pahami saat ini pemerintah yang tidak menganut sistem islam dan ketidak
mampuannya dalam mengelola dibolehkan untuk memberikan mandat bagi BAZNAS dan
LAZ dalam pengelolaan zakat di Indonesia melalui UU. 23 Tahun 2011. Dalam
hadist lain menjelaskan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran
terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan?
‘ Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah
kehancuran itu.” (BUKHARI – 6015).
Dalam
hadist tersebut bahwa kita harus memberikan suatu amanah kepada ahlinya, apalagi
dalam hal zakat yang termasuk rukun islam. Di Indonesia sudah banyak masyarakat
yang memiliki keahlian lebih dibandingkan pemerintah dalam hal pengelolaan
zakat. Maka dengan adanya LAZ yang didirkan oleh masyarakat bisa membantu
penghimpunan zakat di Indonesia. Sehingga perpaduan antara pemerintah dan
masyarakat, hal ini dirasa lebih ideal untuk pengelolaan zakat di Indonesia,
pemerintah tidak mengusai semua dan masyarakat tidak menguasi semua. Wallahu’alam
0 komentar:
Plaas 'n opmerking