Kamal Ibrahim
( Aktivis Komunitas Kepakaran Ekonomi Islam SEBI - Dompet Dhuafa )
Telah dimuat di media cetak : Monitor Depok ( Kamis, 9 Juli 2015 )
Setiap tahunnya, kenaikan harga bahan
pokok selalu menimbulkan kegaduhan. Media massa berkali-kali memuat dan
menayangkan melambungnya harga beras, bawang, hingga jengkol. Kita pun seolah
tak bosan, karena selalu terjadi dan terus terjadi, terutama saat Ramadhan dan
jelang hari raya. Pemerintah pun terkesan membiarkan. Tak ada langkah konkret
yang diambil.
Sebenarnya, kondisi seperti wajar
terjadi. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan, ketika permintaan tinggi,
maka harga-harga akan melambung tinggi. Saat Ramadhan, tingkat konsumsi
masyarakat memang melonjak tinggi. Tak ayal, peluang ini juga dimainkan oleh
tengkulak yang menimbun dan tidak bertanggungjawab.Tentu saja masyarakat merasa
terbebani dengan harga barang yang melonjak tinggi. Penghasilan mereka yang pas-pasan
“dipaksa” memenuhi kebutuhan mereka.
Anomali, itulah yang terjadi saat
Ramadhan. Bagaimana tidak, di hari-hari biasa, kita bisa makan tiga kali sehari
dengan mengeluarkan uang Rp30 ribu. Namun di bulan ramadhan, kita menghabiskan
Rp40 ribu dalam sehari, padahal kita hanya makan dua kali dalam sehari. Ini
terjadi karena masyarakat lebih banyak membelanjakan uang mereka untuk
kebutuhan sahur dan berbuka. Ada sebuah tradisi untuk menyediakan yang terbaik
dalam kedua hidangan tersebut.
Fenomena ekonomi di bulan Ramadhan ini
bisa kita sebut dengan Ramadhanomic. Ya, karena pada bulan Ramadhan, ekonomi
sangat menggeliat. Baik dalam artian positif, maupun negatif. Negatifnya,
seperti yang sudah dijelaskan di atas, masyarakat cenderung konsumtif.
Sementara sisi positifnya, Ramadhan berhasil menggerakkan ekonomi mikro
masyarakat. Di banyak tempat kita bisa melihat orang berjualan aneka sajian
takjil Ramadhan.
Hadirnya para pedagang “musiman” di
bulan Ramadhan ini menjadi ciri khas Indonesia. Sesuai dengan hukum ekonomi,
bahwa permintaan yang tinggi harus diimbangi dengan jumlah penawaran agar
terjadi keseimbangan. Maka perputaran perekonomian umat begitu cepat di bulan
Ramadhan. Masjid yang biasanya hanya digunakan sebagai tempat sholat kini menjelma
layaknya pasar. Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia di tahun 2012 jumlah
perputaran uang selama satu bulan mencapai Rp 85,6 triliyun, angka tersebut
masih dibawah proyeksi Bank Indonesia sebesar.89,4 Triliyun.
Geliat ekonomi lainnya selama Ramadhan
adalah arus uang melalui kegiatan filantropi atau derma. Pada bulan ini, umat
Islam berduyun-duyun mendatangani kantor lembaga zakat atau masjid untuk
menunaikan zakat. Padahal, selain zakat fitrah, semestinya zakat maal harus
ditunaikan sesuai dengan haul-nya, tidak harus di bulan Ramadhan.
Mungkin, iming-iming pahala yang berlipat sebagaimana ajaran Islam menjadi
motif utama. Atau, selama ini masyarakat hanya tahu bahwa zakat harus
ditunaikan pada bulan Ramadhan.
Geliat zakat di bulan Ramadhan ini juga
tidak terlepas dari aktivitas lembaga zakat. Hampir semua lembaga zakat, baik
swasta maupun milik pemerintah, melakukan kampanye yang “jor-joran” selama
Ramadhan. Hampir di setiap sudut jalan kita melihat spanduk ajakan berzakat,
lengkap dengan nomor rekeningnya. Tak hanya itu, di berbagai pusat perbelanjaan
pun dengan mudah kita menemukan pria-wanita muda yang “menawarkan produk” zakat
kepada pengunjung mal. Tak ayal, rata-rata penghimpunan dana zakat 60 persennya
dikumpulkan selama Ramadhan.
Selain aktivitas fundraising yang
massif, lembaga zakat pun “jor-joran” dalam mendistribusikan dana zakat yang
dihimpunnya. Mereka mengemasnya dalam berbagai program, mulai dari santunan
yatim piatu, tunjangan untuk janda dan manula, pengobatan gratis, hingga pasar
murah Ramadhan. Semua kegiatan ini tentu saja memantik kegiatan ekonomi di
negara ini. Banyak pengamat menilai, Indonesia bisa selamat dalam krisis global
tujuh tahun lalu karena geliat ekonomi—untuk tidak hanya menyebut
konsumsi—masyarakat sangat tinggi.
Terakhir, “keberkahan” Ramadhan juga
mengalir melalui tradisi mudik yang terus lestari. Ada dampak ekonomi yang
sangat besar dalam mobilisasi massa tahunan ini. Perputaran ekonomi tidak lagi
terpusat di kota-kota besar. Desa-desa yang selama ini “kering kerontang” juga
bisa menikmati aliran “berkah” yang dibawa perantau ke kampung halaman.
Semoga,
semua nilai ekonomi ada pada bulan Ramadhan tidak menjadi penghalang
nilai-nilai hakiki bulan suci ini. Semoga Ramadhan menjadi berkah untuk kita,
baik dunia maupun akhirat.Ingin Belajar Ekonomi Islam ??
0 komentar:
Plaas 'n opmerking