31 Julie 2015

Fenomena Ramadhanomic

Kamal Ibrahim
( Aktivis Komunitas Kepakaran Ekonomi Islam SEBI - Dompet Dhuafa )

Telah dimuat di media cetak : Monitor Depok ( Kamis, 9 Juli 2015 )

Setiap tahunnya, kenaikan harga bahan pokok selalu menimbulkan kegaduhan. Media massa berkali-kali memuat dan menayangkan melambungnya harga beras, bawang, hingga jengkol. Kita pun seolah tak bosan, karena selalu terjadi dan terus terjadi, terutama saat Ramadhan dan jelang hari raya. Pemerintah pun terkesan membiarkan. Tak ada langkah konkret yang diambil.
Sebenarnya, kondisi seperti wajar terjadi. Sesuai dengan hukum penawaran-permintaan, ketika permintaan tinggi, maka harga-harga akan melambung tinggi. Saat Ramadhan, tingkat konsumsi masyarakat memang melonjak tinggi. Tak ayal, peluang ini juga dimainkan oleh tengkulak yang menimbun dan tidak bertanggungjawab.Tentu saja masyarakat merasa terbebani dengan harga barang yang melonjak tinggi. Penghasilan mereka yang pas-pasan “dipaksa” memenuhi kebutuhan mereka.

Anomali, itulah yang terjadi saat Ramadhan. Bagaimana tidak, di hari-hari biasa, kita bisa makan tiga kali sehari dengan mengeluarkan uang Rp30 ribu. Namun di bulan ramadhan, kita menghabiskan Rp40 ribu dalam sehari, padahal kita hanya makan dua kali dalam sehari. Ini terjadi karena masyarakat lebih banyak membelanjakan uang mereka untuk kebutuhan sahur dan berbuka. Ada sebuah tradisi untuk menyediakan yang terbaik dalam kedua hidangan tersebut.
Fenomena ekonomi di bulan Ramadhan ini bisa kita sebut dengan Ramadhanomic. Ya, karena pada bulan Ramadhan, ekonomi sangat menggeliat. Baik dalam artian positif, maupun negatif. Negatifnya, seperti yang sudah dijelaskan di atas, masyarakat cenderung konsumtif. Sementara sisi positifnya, Ramadhan berhasil menggerakkan ekonomi mikro masyarakat. Di banyak tempat kita bisa melihat orang berjualan aneka sajian takjil Ramadhan.
Hadirnya para pedagang “musiman” di bulan Ramadhan ini menjadi ciri khas Indonesia. Sesuai dengan hukum ekonomi, bahwa permintaan yang tinggi harus diimbangi dengan jumlah penawaran agar terjadi keseimbangan. Maka perputaran perekonomian umat begitu cepat di bulan Ramadhan. Masjid yang biasanya hanya digunakan sebagai tempat sholat kini menjelma layaknya pasar. Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia di tahun 2012 jumlah perputaran uang selama satu bulan mencapai Rp 85,6 triliyun, angka tersebut masih dibawah proyeksi Bank Indonesia sebesar.89,4 Triliyun.
Geliat ekonomi lainnya selama Ramadhan adalah arus uang melalui kegiatan filantropi atau derma. Pada bulan ini, umat Islam berduyun-duyun mendatangani kantor lembaga zakat atau masjid untuk menunaikan zakat. Padahal, selain zakat fitrah, semestinya zakat maal harus ditunaikan sesuai dengan haul-nya, tidak harus di bulan Ramadhan. Mungkin, iming-iming pahala yang berlipat sebagaimana ajaran Islam menjadi motif utama. Atau, selama ini masyarakat hanya tahu bahwa zakat harus ditunaikan pada bulan Ramadhan.
Geliat zakat di bulan Ramadhan ini juga tidak terlepas dari aktivitas lembaga zakat. Hampir semua lembaga zakat, baik swasta maupun milik pemerintah, melakukan kampanye yang “jor-joran” selama Ramadhan. Hampir di setiap sudut jalan kita melihat spanduk ajakan berzakat, lengkap dengan nomor rekeningnya. Tak hanya itu, di berbagai pusat perbelanjaan pun dengan mudah kita menemukan pria-wanita muda yang “menawarkan produk” zakat kepada pengunjung mal. Tak ayal, rata-rata penghimpunan dana zakat 60 persennya dikumpulkan selama Ramadhan.
Selain aktivitas fundraising yang massif, lembaga zakat pun “jor-joran” dalam mendistribusikan dana zakat yang dihimpunnya. Mereka mengemasnya dalam berbagai program, mulai dari santunan yatim piatu, tunjangan untuk janda dan manula, pengobatan gratis, hingga pasar murah Ramadhan. Semua kegiatan ini tentu saja memantik kegiatan ekonomi di negara ini. Banyak pengamat menilai, Indonesia bisa selamat dalam krisis global tujuh tahun lalu karena geliat ekonomi—untuk tidak hanya menyebut konsumsi—masyarakat sangat tinggi.   
Terakhir, “keberkahan” Ramadhan juga mengalir melalui tradisi mudik yang terus lestari. Ada dampak ekonomi yang sangat besar dalam mobilisasi massa tahunan ini. Perputaran ekonomi tidak lagi terpusat di kota-kota besar. Desa-desa yang selama ini “kering kerontang” juga bisa menikmati aliran “berkah” yang dibawa perantau ke kampung halaman.
Semoga, semua nilai ekonomi ada pada bulan Ramadhan tidak menjadi penghalang nilai-nilai hakiki bulan suci ini. Semoga Ramadhan menjadi berkah untuk kita, baik dunia maupun akhirat.

Ingin Belajar Ekonomi Islam ??

0 komentar: