Kamal Ibrahim
( Aktivis Kelompok Kepakaran Ekonomi Islam STEI SEBI
& Dompet Dhuafa)
Di
Indonesia, bulan Ramadhan identik dengan “bulan zakat”. Pada masa ini, hampir
semua lembaga zakat melakukan kampanye yang massif untuk menggalang dana zakat
dan kedermawanan Islam lainnya. Hampir di setiap sudut kota, mulai dari jalan
raya hingga gang-gang sempit, terpampang ajakan berzakat melalui berbagai
lembaga. Ada yang sekedar menggunakan spanduk kain biasa, namun tak sedikit
pula yang majang melalui papan reklame berbayar (billboard).
Entah
mengapa kampanye zakat sangat massif di bulan Ramadhan. Padahal hanya zakat
fitrah yang wajib dikeluarkan saat bulan Ramadhan. Sementara zakat maal, waktu
pengeluarannya harus sesuai dengan haul-nya, yaitu masa ketika harta
wajib dikeluarkan zakatnya, baik satu tahun atau saat panen untuk zakat
pertanian. Mungkin, umat Islam Indonesia terlanjur meyakini, setiap amal baik
yang dilakukan pada bulan Ramadhan akan mendapat ganjaran yang berlipat.
Demikian halnya dengan zakat. Cara pandang ini sepertinya yang ingin
dimanfaatkan oleh lembaga-lembaga pengelola zakat.
Cara
dan metode “memasarkan diri” lembaga zakat ini pun sangat beragam. Mulai dari
direct marketing melalui relawan yang disebar ke pusat-pusat perbelanjaan,
hingga iklan di tv komersil. Ada yang menonjolkan program-program unggulannya,
ada pula yang sekedar menampilkan nomor telpon dan rekening.
Tentu
saja kita mengapresiasi “dakwah” para lembaga zakat ini. Bagaimana pun yang
mereka lakukan merupakan bagian dari penyadaran kepada masyarakat tentang
pentingnya berzakat. Terbukti, hampir setiap tahun tren pertumbuhan zakat
secara nasional mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Namun, lembaga
zakat tidak boleh hanya “jor-joran” dalam penghimpunan (fundraising),
tapi menomorduakan pendayagunaan. Di saat yang bersamaan, manajeman pengelolaan
dan transparansi—baik program maupun keuangan—juga harus diperhatikan.
Data
yang pernah dilansir Islamic Development Bank menyebutkan, potensi zakat di
Indonesia bisa mencapai Rp 217 triliun. Namun, sejauh ini potensi yang berhasil
diraup (yang tercatat secara nasional melalui lembaga resmi), baru mencapai 1
persennya. Bahkan jika ditambah dengan zakat yang dihimpun, dikelola, dan
disalurkan secara tradisional pun, paling besar hanya 5 % dari potensi yang
ada. Jika kita hanya mengandalkan momentum Ramadhan, rasanya sulit bisa
mengoptimalkan potensi yang ada.
Di
tengah masyarakat yang semakin kritis, prinsip-prinsip good governance—seperti
transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme—adalah harga mati bagi lembaga
pengelola zakat untuk meraih kepercayaan masyarakat. Jika semua lembaga zakat
bisa menjaga kepercayaan, bukan tidak mungkin masyarakat akan berduyun-duyun
menunikan zakatnya melalui lembaga zakat yang ada. Dengan demikian, potensi
yang sangat besar itu bisa tergarap dengan optimal. Yang lebih penting lagi,
program-program penanganan kemiskinan bisa dikelola lebih sistematis dan
terarah. Karena biasanya lembaga zakat memiliki program yang terencana dengan
baik untuk memberdayakan masyarakat dhuafa.
Dukungan
dan perhatian pemerintah terhadap pengembangan zakat di Indonesia sebenarnya
sudah cukup baik, meski dalam regulasi yang dibuatnya masih terdapat beberapa
kelemahan. Dukungan pemerintah juga terlihat dari ditetapkannya 27 Ramadhan
sebagai Hari Zakat Nasional. Dukungan ini semestinya menjadi motivasi
tersendiri bagi lembaga (swasta) maupun badan (pemerintah) amil zakat. Jangan sampai
mengelola dana umat ini hanya dijadikan pekerjaan sambilan atau musiman.
Di
Kota Depok sendiri, sudah terdapat BAZNAS Kota Depok. Namun, sebagai warga
Depok, saya masih belum merasakan keberadannya di tengah masyarakat Kota Depok.
Baik dari penghimpunan maupun program penyalurannya. Jika kita melihat
pergerakan dan perputaran ekonomi di Dpok, potensi dana zakat yang ada di Depok
cukup besar. Namun, BAZNAS Kota Depok belum bisa menggarapnya dengan maksimal.
Para pengurus harus “menggenjot” kembali aktivitas organisasi agar menghasilkan
kinerja yang lebih baik. Karena BAZNAS Kota Depok memiliki kekuatan dalam
pengelolaan zakat di Kota Depok dengan didukung UU, Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Menteri Agama, serta SK Walikota Depok.
Momentum
Ramadhan harus menjadi titik balik bagi BAZNAS Kota Depok. Gerakan Zakat
Nasional pada tanggal 27 Ramadhan menjadi refleksi dari pengelolaan zakat di
Indonesia, khususnya di Kota Depok. Zakat, sebagaimana merujuk pendapat DR.
Yusuf Qardhawi, memiliki dampak positif yang sangat besar, baik bagi si
pembayar (muzakki) dan juga dampak sosial. Ibadah zakat tidak saja berdimensi
vertikal, melainkan horizontal. Di sana hablum minannas lebih dominan
dibanding hablum minallah. Jika BAZNAS Kota Depok bisa memaksimalkan
potensi zakat yang ada, bukan tidak mungkin program-program pemerintah yang
terkait dengan penanggulangan kemiskinan memiliki daya gedor yang dahsyat
0 komentar:
Plaas 'n opmerking