09 November 2015

REALITA DAN HARAPAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH

Oleh : Kamal Ibrahim
Mahasiswa STEI SEBI


Persepsi masyarakat tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia masih kurang baik. Masih banyak anggapan bahwa LKS sama seperti dengan lembaga keuangan lainnya, terbukti dengan rendahnya market share perbankan syariah di Indonesia yang belum mencapai 5 %. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi lembaga keuangan syariah, untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. pemrintha pun turut serta dalam proses sosialisasi keuangan syariah di Indonesia, seperti mengadakan GRES (Gerakan Ekonomi Syariah) dan kegiatan lainnya.
Kesulitan lainnya datang dari diri masyarakat, karena masih banyak orang yang belum bersingungan dengan dunia perbankan. Menurut Bank Indonesia sekitar 50% masyarakat Indonesia yang berhubungan langsung dengan perbankan. Disinilah peran LKS dalam menyasar 50 %
masyarakat Indonesia yang belum berhubungan dengan bank, melalui lembaga keuangan mikro syaraiah. Kita lebih familiar dengan istilah Koperasi Syariah atau Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dibandingkan dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah. BMT atau Koperasi Syariah bisa menjadi garda terdepan dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Hingga saat ini, menurut Kementrian Koperasi dan UKM aset BMT mencapai Rp. 4,7 Triliyun. Kondisi ini mengalami perkembangan yang begitu pesat dibandingkan dengan periode sebelumnya.
BMT harus menjaga kepercayaan masyarakat terutama dalam menjaga kesesuaian syariah disetiap aktivitas bisnis mereka. BMT bersinggungan langsung dengan masyarakat tingkat bawah dan juga UMKM, maka penting untuk mengutamakan kepatuhan syariah agar persepsi masyarakat kepada LKS lebih baik lagi. Sebenarnya setiap LKS memiliki pengawas syariah, mereka bertugas untuk memastikan setiap aktivitas bisnis yang dilakukan tidak melanggar dari koridor syariah. Pertanyaan lain yang akan muncul, ketika pengawas syaiah yang terdapat di LKS apakah sudah independen dalam melaksanakan tugasnya. Kita mengetahui, bahwa mereka merupakan karyawan dari LKS yang berhak menerima gaji. Maka akan timbul conflict of interest antara pengawas syariah dengan pengelola.
Selain itu, menurut penelitian antara OJK dan UIN Syarif Hidayatullah masih ditemukannya BMT yang memiliki DPS Pasif dan belum ada sistem pelaporan secara tertulis sebagai bukti pengawasan telah berjalan. Maka tak ayal, banyak yang mempertanyakan kesyariahan BMT. Karena pengawasn terhadap BMT masih berada di bawah Kementrian Koperasi dan UMKM dan pengawasan dilakukan oleh dinas terkait di masing-masing kota. Berbeda dengan di Malaysia yang pengawasannya langsung dilakukan oleh Bank Negara Malaysia. Perbedaan konsep ini akan berpengaruh pada profesionalisme sebuah lembaga dalam aktivitas binis yang mereka lakukan. Bahkan setiap Islamic Coporate Bank yang berada di Malaysia harus di audit syariah eksternal, untuk menjaga indepedensi dewan pengawas syariah.

Keberadaan audit eksternal yang juga mengaudit syariah BMT, akan menciptakan rasa kepercayaan masyarakat terhadap LKS. Maka sepatutnya pemerintah harus segera bergegas untuk melakukan pembenahan dalam pengelolaan BMT yang ada di Indonesia. Mengharuskan mereka untuk di audit secara syariah, untuk memastikan kesyariahan lembaga dan menjaga indepedensi dewan pengawas syariah. Pemerintah bisa bekerja sama dengn DSN MUI dalam membuat prosedur audit syariah atau melakukan sertifikasi kepada auditor eksternal yang ingin mengaudit lembaga keuangan syariah.  

0 komentar: