Oleh : Kamal Ibrahim
Mahasiswa STEI SEBI
Persepsi masyarakat tentang Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia masih kurang baik. Masih banyak anggapan
bahwa LKS sama seperti dengan lembaga keuangan lainnya, terbukti dengan
rendahnya market share perbankan
syariah di Indonesia yang belum mencapai 5 %. Hal ini menjadi pekerjaan rumah
bagi lembaga keuangan syariah, untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat.
pemrintha pun turut serta dalam proses sosialisasi keuangan syariah di
Indonesia, seperti mengadakan GRES (Gerakan Ekonomi Syariah) dan kegiatan
lainnya.
Kesulitan lainnya datang dari diri
masyarakat, karena masih banyak orang yang belum bersingungan dengan dunia
perbankan. Menurut Bank Indonesia sekitar 50% masyarakat Indonesia yang
berhubungan langsung dengan perbankan. Disinilah peran LKS dalam menyasar 50 %
masyarakat Indonesia yang belum berhubungan dengan bank, melalui lembaga
keuangan mikro syaraiah. Kita lebih familiar dengan istilah Koperasi Syariah
atau Baitul Maal wat Tamwil (BMT)
dibandingkan dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah. BMT atau Koperasi Syariah
bisa menjadi garda terdepan dalam pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Hingga
saat ini, menurut Kementrian Koperasi dan UKM aset BMT mencapai Rp. 4,7
Triliyun. Kondisi ini mengalami perkembangan yang begitu pesat dibandingkan
dengan periode sebelumnya.
BMT harus menjaga kepercayaan masyarakat
terutama dalam menjaga kesesuaian syariah disetiap aktivitas bisnis mereka. BMT
bersinggungan langsung dengan masyarakat tingkat bawah dan juga UMKM, maka
penting untuk mengutamakan kepatuhan syariah agar persepsi masyarakat kepada
LKS lebih baik lagi. Sebenarnya setiap LKS memiliki pengawas syariah, mereka
bertugas untuk memastikan setiap aktivitas bisnis yang dilakukan tidak
melanggar dari koridor syariah. Pertanyaan lain yang akan muncul, ketika
pengawas syaiah yang terdapat di LKS apakah sudah independen dalam melaksanakan
tugasnya. Kita mengetahui, bahwa mereka merupakan karyawan dari LKS yang berhak
menerima gaji. Maka akan timbul conflict
of interest antara pengawas syariah dengan pengelola.
Selain itu, menurut penelitian antara
OJK dan UIN Syarif Hidayatullah masih ditemukannya BMT yang memiliki DPS Pasif
dan belum ada sistem pelaporan secara tertulis sebagai bukti pengawasan telah
berjalan. Maka tak ayal, banyak yang mempertanyakan kesyariahan BMT. Karena
pengawasn terhadap BMT masih berada di bawah Kementrian Koperasi dan UMKM dan pengawasan
dilakukan oleh dinas terkait di masing-masing kota. Berbeda dengan di Malaysia
yang pengawasannya langsung dilakukan oleh Bank Negara Malaysia. Perbedaan
konsep ini akan berpengaruh pada profesionalisme sebuah lembaga dalam aktivitas
binis yang mereka lakukan. Bahkan setiap Islamic
Coporate Bank yang berada di Malaysia harus di audit syariah eksternal,
untuk menjaga indepedensi dewan pengawas syariah.
Keberadaan audit eksternal yang juga
mengaudit syariah BMT, akan menciptakan rasa kepercayaan masyarakat terhadap
LKS. Maka sepatutnya pemerintah harus segera bergegas untuk melakukan
pembenahan dalam pengelolaan BMT yang ada di Indonesia. Mengharuskan mereka
untuk di audit secara syariah, untuk memastikan kesyariahan lembaga dan menjaga
indepedensi dewan pengawas syariah. Pemerintah bisa bekerja sama dengn DSN MUI
dalam membuat prosedur audit syariah atau melakukan sertifikasi kepada auditor
eksternal yang ingin mengaudit lembaga keuangan syariah.
0 komentar:
Plaas 'n opmerking